Paradoks dalam Teater

image

“Hanoman meli burger! Hanoman meli burger!!

Gerombolan murid Sekolah Dasar itu berseru-seru sambil menghampiri seorang penjual burger keliling. Diangkatnya kaki si dagang lalu diaraknya tubuh kurus itu seperti menyambut pahlawan pulang kampung. Tetapi ketika seorang sersan galak datang dan berteriak, anak-anak itu kompak menghempaskan penjual burger sampai badannya terjungkal.

“Hei, hei! Jangan ribut! Ini Bali! Pulau yang aman, tertib, tanpa kekerasan, pulau yang sejahtera, tentram, bahagia. Gemah ripah loh jinawi, Tut Wuri Handayani, Ing Madyo Mangun Karso Ing Ngarso Sontoloyo!” Anak-anak itu sontak tertawa, begitu juga sebagian penonton yang duduk di tribun Wantilan, Taman Budaya Denpasar siang itu (2/9).

Percakapan dan adegan tersebut rupanya cukup mengganggu bagi sebagian penonton. Bukan semata karena sarat kontradiksi, tetapi juga lantaran banyaknya peristiwa di atas panggung yang sesungguhnya tidak tercantum dalam cerita pendek berjudul “Paradoks” yang menjadi asal inspirasi penggarapan drama modern ini.

Gede Arum, salah seorang penonton paling setia yang selalu terlihat di tribun wantilan, pun menangkap adanya perbedaan tersebut, misalnya antara ending di cerpen dan pertunjukan yang berlainan. “Berarti naskah bisa dimodifikasi sebebas itu ya?” tanya Arum.

Alih Wahana

Selama tak lebih dari 60 menit, para aktor dan aktris dari Teater Genta Malini, SMAN 1 Gianyar, mementaskan hasil alih wahana dari cerpen “Paradoks” menjadi sebentuk seni pertunjukan yang memikat. Mereka tampil sebagai peserta nomor urut lima pada Lomba Seni Drama Modern se-Bali yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.

Kewajiban melakukan alih wahana dari karya sastra menjadi pertunjukan drama tak sering terjadi dalam lomba-lomba teater di Bali, yang belakangan juga sangat jarang diadakan. Seluruh kelompok teater dari berbagai kabupaten dan kota yang menjadi peserta lomba diharuskan memilih dan merespon cerpen yang ditawarkan oleh panitia.

Alih wahana, dalam pengertian dari sastrawan dan akademisi, Sapardi Djoko Damono, merupakan perubahan dari suatu jenis kesenian ke bentuk kesenian lain. Tak hanya dari cerpen ke drama, alih wahana juga bisa terjadi dari puisi ke lukisan, atau film menjadi novel.

Karena wahana atau mediumnya telah berubah, maka diperlukan modifikasi unsur-unsur dari bentuk kesenian yang satu menjadi unsur-unsur yang membangun jenis kesenian lainnya. Perubahan dari medium cerpen yang berupa bahasa tulis menjadi medium drama yang meliputi bahasa gerak, lisan serta visual menuntut kelihaian sutradara untuk menterjemahkan teks cerpen menjadi dramaturgi yang juga harus memperhitungkan ruang dan waktu.

Persoalannya kemudian, sebebas apa seorang sutradara atau pelaku alih wahana bisa membedah naskah cerpen tersebut?

“Interpretasi bebas, asal mampu mencari inti dari naskah tersebut. Paradoks adalah pertentangan, sepanjang (adegannya) bersifat paradoks dan memperkuat cerita itu boleh.” Kata dewan juri, Anak Agung Sagung Mas Ruscitadewi. Juri lain, Ida Bagus Martinaya menambahkan bahwa yang terpenting adalah esensi dari suatu naskah tetap terjaga.

Sayangnya, barangkali karena tak terbiasa dengan alih wahana, beberapa nomor pertunjukan justru tampak kaku karena tak berani memberi interpretasi yang lebih bebas pada cerpen. Walhasil, di atas panggung, logika dan jalinan plot cerita terasa sangat lemah. Korelasi sebab-akibat dalam cerita termasuk dialog-dialognya tak tergarap dengan matang sehingga konflik batin yang hendak ditawarkan justru mengambang di permukaan.

Belum lagi kualitas akting sejumlah pemain yang belum terasah. Hal ini menjadi catatan tersendiri untuk juri. “Kekurangan yang paling menonjol terletak pada penokohan. Banyak yang masih lemah, tetapi ada juga yang mampu menghayati peran dengan baik.” Ujar juri lainnya, Maria Matildis Banda yang juga mengaku terharu dengan semangat dan keseriusan para peserta.

Intertekstualitas

Selain menyesuaikan unsur intrinsik prosa menjadi unsur intrinsik drama, masuknya unsur-unsur ekstrinsik juga turut memengaruhi gemilang atau tidaknya sebuah pertunjukan. Berbagai fenomena di sekitar dapat ditangkap untuk memperkaya skenario dan memperkuat pesan yang ingin disuguhkan ke penonton.

Sebenarnya ada tiga judul cerpen yang dipentaskan oleh delapan grup teater yang mengikuti lomba, dari total sembilan naskah  yang ditawarkan panitia. Adapun tulisan ini secara khusus akan menyoroti cerpen “Paradoks” yang dipilih oleh juara pertama kategori pementasan terbaik.

Cerpen karya Putu Wijaya ini secara umum berkisah tentang aneka perubahan di Bali, khususnya Denpasar, yang tak jarang menimbulkan paradoks sebagaimana tecermin dalam laku penduduknya. Hal itu misalnya bisa dilihat dari gambaran tentang rumah-rumah tetangga Pak Amat yang terus direnovasi dan didandani dengan barang-barang mewah.

Salah satu tetangga yang membuat heran Pak Amat adalah Pak Made, yang dari dulu belum mengembalikan utang ke Pak Amat tetapi kini rumahnya sudah tingkat tiga. Sebelumnya, ia meminjam 10 juta untuk menebus putranya, si Nyoman, yang masuk penjara karena narkoba. Setelah keluar tahanan, Nyoman malah menyindir Pak Amat tidak mau meminjamkan uang ke ayahnya. Semua serba terbalik.

Pertentangan, paradoks dan kontradiksi pada masyarakat urban di Denpasar yang menjadi intisari cerpen tersebut menjadi acuan Teater Genta Malini dalam melakukan usaha alih wahana. Selama proses itu, berbagai unsur ekstrinsik dimasukkan untuk memperkuat kesan paradoks.

Penambahan unsur-unsur ekstrinsik yang mereka lakukan ketika menyusun skenario turut mengandalkan cara-cara intertekstualitas di dalamnya, baik secara sadar atau tidak. Seperti diketahui, intertekstualitas meyakini bahwa sebuah teks dibangun dari berbagai teks lain yang membuatnya memiliki kompleksitas makna.

Cerpen “Paradoks” yang menjadi hipogram (teks pendahulu yang memengaruhi teks yang lahir berikutnya) dibaca dengan aneka fakta kontekstual tentang Bali yang berseliweran di media massa seperti menjamurnya hotel-hotel dan kafe-kafe baru yang kemudian dipertentangkan dengan mitos Bali sebagai Pulau Seribu Pura dan Pulau Dewata.

Teater Genta Malini juga meramu antara kisah tradisional pewayangan dan gaya hidup masa kini yang serba instan, kebarat-baratan, namun digandrungi banyak kalangan, sebagaimana tecermin dari tokoh pewayangan hanoman, anak-anak SD, termasuk sang sersan—tentara yang membela negara— yang semuanya “membeli burger”.

Hal ini di satu sisi mencerminkan bahwa tradisi dan globalisasi dapat berjalan berdampingan, namun di lain pihak juga menawarkan renungan tentang aneka ketegangan yang terjadi di Bali, misalnya, antara yang sakral dan profan; angan-angan pelestarian tradisi yang sering tidak sesuai dengan laku sehari-hari, dan hal-hal lain yang sejatinya juga melekat dalam kehidupan kita sebagai individu maupun masyarakat.

Lewat pernyataan bernada satire dari tokoh sersan, penonton diajak mempertanyakan kembali kebenaran citraan Pulau Bali yang aman tanpa kekerasan, sejahtera, tentram, bahagia. Penonton digoda pula untuk bertanya, jangan-jangan sosok sersan yang hipokrit itu sebenarnya adalah cerminan diri kita sendiri yang membanggakan mitos tersebut dan mengelak realita yang sesungguhnya sembari diam-diam berlindung di bawah mitos itu sehingga leluasa melakukan kekerasan serta tindakan pemiskinan terhadap orang lain.

Lihat saja Pak Made yang berkali-kali mengucapkan “astungkara” dalam dialog dengan Pak Amat dan istrinya. Sampai-sampai ia memadukan kata yang sedang nge-trend di sebagian masyarakat Bali tersebut—yang artinya kerap disamakan dengan “semoga terjadi” atau ungkapan rasa syukur— dengan kesialan yang tengah menimpa keluarganya.

“Astungkara, Pak, keluarga besar saya dapat musibah, Pak. Jadi, anak saya Pak, si Nyoman, astungkara masuk penjara, Bu, alamak..” ujar Pak Made yang disambut cekikikan dari para penonton.

Budaya Proses dan Pendidikan Selera

Memang juri tak keliru memilih nomor undi lima sebagai juara pertama pementasan terbaik. Tak mengherankan pula ungkapan haru Maria Maltildis Banda yang disampaikan kepada kedelapan grup peserta lomba usai pengumuman pemenang Kamis lalu (3/9).

Bagi penonton yang setia menyaksikan pertunjukan dari hari pertama hingga penutupan, pastinya tahu betapa anak-anak muda tersebut telah menunjukkan keseriusan yang sangat patut diapresiasi. Ketika kini remaja lain lebih tergiur pada hiburan yang bersifat hedonis dan konsumtif, mereka menunjukan bahwa kesungguhan yang tecermin dalam latihan berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan yang mereka lakukan tetap mendapat tempat.

Proses berkesenian di dunia teater, baik sebagai sutradara, aktor, penata musik, bagian perlengkapan dan sebagainya, bila ditekuni dengan sungguh-sungguh, akan menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi anak muda. Mereka tak hanya belajar mengapresiasi karya seni dan mengolah kreativitas serta memperluas wawasan dan kepedulian sosial, tetapi juga melakoni apa yang disebut sebagai “budaya proses” yang dewasa ini kian tergusur karena maraknya budaya instan.

W.S. Rendra, dalam esainya di tahun 1960-an berjudul “Produksi Sandiwara di Indonesia”  menyarankan agar pendidikan selera dilakukan sejak usia kanak-kanak. Perbanyak sandiwara untuk anak-anak dengan cerita dan aktor yang bagus, biasakan mereka untuk menontonnya sehingga mereka belajar menghargai dan mencintai sandiwara. Upaya ini dapat melahirkan calon penggiat teater yang bermutu kelak sekaligus mempersiapkan penonton teater di masa depan.

Hal ini bisa menciptakan iklim kesenian yang menggembirakan, menguntungkan para seniman dengan apresiasi tinggi dari publik luas sehingga meningkatkan kualitas dan kuantitas karyanya. Masyarakat juga beruntung, sebab karya yang baik akan selalu memancing lahirnya karya-karya baik lainnya dalam rupa wahana apa saja sebagai wujud dialektika yang sehat.

Persoalannya kini, jangankan mewujudkan pendidikan selera, lomba teater yang menjadi pemicu utama kreativitas kelompok teater di sekolah-sekolah di Bali termasuk jarang diselenggarakan. Bahkan ajang Pekan Seni Remaja di Denpasar yang bertujuan mendukung tumbuh kembang kreativitas seni anak muda sudah lama menghapus lomba drama modern dalam daftar kompetisinya. Kalau sudah begini saya jadi teringat Pak Made.

Astungkara….!

dimuat di Bali Tribune, 14 September 2015

Leave a comment