Tiga Kisah yang Dipentaskan di Taman Budaya Denpasar

image

Teater Angin mementaskan lakon “Leak”

DUA petani lari ketakutan setelah melihat Dadong Simprig di halaman rumahnya.

Nenek bungkuk yang tadinya duduk di bawah bayang pohon mangga itu pun menyeringai. Malam yang sepi jadi makin mencekam.

Beberapa jam kemudian, terdengar bunyi kentongan dari bale banjar, tanda pengabenan seorang bangsawan akan segera diadakan.

Bunyi yang sama juga terngiang dalam lamunan Gung De Lila yang berulangkali dihantui masa lalu dan panggilan ayahnya untuk pulang ke puri.

“Aku ingin anak-anakku bahagia” kata Sulastri, istrinya, yang menambah gundah hati Gung De.
Kegelisahan juga tampak pada wajah Pak Amat dan istrinya yang bertanya-tanya tentang perubahan yang terjadi di sekeliling mereka, pada kota dan orang-orang yang dikenalnya.

Tiga kisah yang berbeda tersebut dipentaskan oleh para peserta Lomba Seni Teater se-Bali di Wantilan Taman Budaya, Denpasar, Bali, Selasa (1/9/2015) lalu.

Masing-masing lakon yang dibawakan berangkat dari cerita pendek (cerpen) yang telah dipilih sebelumnya.

Teater Angin yang tampil pertama kali mementaskan naskah “Leak” karya Abu Bakar.

Dengan aneka tata musik dan permainan siluet, suasana misterius di pekarangan Dadong Simprig sanggup dihadirkan ke atas pentas.

Para kru yang sigap beberapa kali memindahkan properti panggung, menandai pergantian waktu sekaligus perubahan latar tempat: dari halaman pondok dadong ke beranda rumah seorang suami yang ingin menuntut balas karena anak pertamanya konon dibunuh sang leak yang diperankan secara apik oleh Dewa Ayu Bunga Kinara.

Sementara itu, peserta kedua dari Teater Jineng, SMA Negeri 1 Tabanan, membawakan naskah bertajuk “Ketika Kentongan Dipukul di Bale Banjar” karya I Nyoman Rasta Sindu.

image

Pertunjukan “Ketika Kentongan Dipukul di Bale Banjar” oleh Teater Jineng

Pementasan ini diawali dengan adegan yang menjanjikan, di mana ayah Gung De Lila dan abdinya berjalan mengitari panggung sembari memukul kentongan bertalu-talu dan memanggil nama Gung De berulang kali dalam mimpinya.

Pertumpang-tindihan plot mengisi sebagian besar pementasan yang berdurasi tak lebih dari 60 menit ini

Berbagai kilasan ingatan Gung De Lila berbaur dengan masa kininya, tak jarang juga dihadirkan secara bersamaan di atas panggung.
Kompetisi yang digelar oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Bali ini boleh dikata menarik karena mendorong para peserta untuk melakukan apresiasi karya sastra sekaligus alih kreasi dari cerpen menjadi sebentuk pertunjukan drama modern.

Alih kreasi, atau alih wahana dalam istilah Sapardi Djoko Damono, pada dasarnya memberikan keleluasaan bagi tiap peserta untuk melakukan pengayaan interpretasi terhadap naskah asli.

Hal ini tampak dimanfaatkan oleh anak-anak Teater Solagracia, SMA Negeri 1 Negara.

Lewat lakon berjudul “Paradoks” dari Putu Wijaya, mereka membuat ramuan pertunjukan yang menggabungkan kenyataan dan angan-angan atau imaji yang terbilang cukup segar.

"Paradoks" ditampilkan oleh Teater Solagracia

“Paradoks” ditampilkan oleh Teater Solagracia


Hal itu tecermin sejak menit pertama dimulainya pementasan. Hasilnya, drama yang secara keseluruhan cenderung bersifat realis tersebut diwarnai pula dengan sejumlah adegan yang terasa absurd.

Karakter ini selaras dengan sifat cerpen-cerpen Putu Wijaya yang juga kerap mengangkat absurditas.

Seluruh peserta dari nomor undi satu sampai tiga juga terkesan berupaya memaksimalkan keterlibatan krunya dalam pertunjukan. Usaha tersebut misalnya saja diperlihatkan oleh Teater Solagracia lewat penataan properti di sela-sela pertunjukan yang dilakukan dengan gerakan-gerakan teatrikal tertentu, pendeknya, bahkan kru perlengkapan pun harus ikut berakting.

Lihat pula pementasan “Ketika Kentongan Dipukul di Bale Banjar” di mana salah satu penata musik yang sejak awal memainkan keyboard ternyata di tengah-tengah muncul sebagai aktor yang cukup berperan, yakni menjadi sosok Sulastri muda.

Demikian halnya dengan Teater Angin yang salah satu pemeran pembantunya merangkap sebagai pembaca puisi di balik layar.

Dimuat di Tribun Bali, 2 September 2015 (foto: Zul)

Leave a comment